Saturday 28 August 2010

Vanity is My Sin

Syaloom...

Waah...Sudah lama saya tidak menulis.

Biasa, penyakit penulis amatir,  angin – anginan. Yah.. kalau mau dicari execuse sih pasti ada saja, dan itu pasti klasik: Kesibukan. Hhehe...

Mumpung sekarang kuliah tidak terlalu intens, dan sibuk menulis skripsi......lebih baik saya mencoba menulis di blog lagi....  (itung-itung latihan menulis yang baik untuk skripsi....hhe)

” Vanity is my favorite sin !”

Ini kata – kata yang disampaikan tokoh John Milton, yang diperankan secara luar biasa oleh “Don” Al Pacino, dalam film Devils Advocate, kira – kira tahun 2003 lalu (di waktu yang sama kala itu, saya sedang ujian nasional SLTP. God …time moving so fast).

Milton yang titisan Lucifer ini mengatakan, akan sangat mudah buat kaum iblis untuk membujuk masuk ke jalan yang sesat ketika kesombongan memenuhi rongga dada anak – anak Adam. Demikian nistanya dosa itu, bahkan seorang manusia terancam tak akan berhak mendapat tiket masuk firdaus.

Salah satu  rasa sombong itu bernama Narsisisme atau kosa kata populernya sekarang ini Narsis. Sigmun Freud (tokoh psikolog yang saya hormati atas beberapa teori konselingnya) yang memperkenalkan kata ini kepada dunia psikologi modern. Freud mengatakan, tidak ada yang salah dari rasa mencintai diri sendiri. Bahkan semua orang membawa sifat ini semenjak mereka lahir. Ia bahkan menambahkan, sifat ini merupakan sumber harapan sekaligus energi yang menggerakkan insting manusia untuk bertahan hidup.

Masalahnya kemudian akan timbul, ketika konteks self-love ini terbawa oleh manusia dalam kehidupan sosial. Maka “ke-Kita-an” akan berubah menjadi “ke-Aku-an”. Saya yang terbaik, terindah, terpintar, terbenar, terhebat, ter…, ter…., ter… Ketika Aku adalah segalanya, maka logika menjadi kacau, nurani jadi nisbi, dan halalnya cara adalah lelucon yang tak lagi akan pernah lucu.

Kapan sdr mulai merasa rambut rontok dan mulai terganggu oleh rambut rontok? Kapan sdr mulai merasa sudah mulai keriput dan bertambah tua? Sepanjang jaman tidak pernah berkurang keinginan manusia untuk mempercantik diri dan ingin tetap lebih muda daripada usianya. Itu hanya satu gejala kecil dari reaksi spirit yang tidak ingin berada di bawah limitasi proses waktu yang ujungnya nanti adalah kematian. Karena manusia adalah percampuran antara natur dan spirit maka manusia adalah satu-satunya mahluk di atas muka bumi ini yang menciptakan perasaan anxiety di dalam hidupnya. Kita selalu kuatir, kita selalu gelisah.

Sdr tidak akan pernah menemukan rasa gelisah dan kuatir itu pada diri burung. Tidak ada burung yang hari ini keluar jam 6 pagi untuk cari makan, dan karena tidak mendapat lalu bilang sama isterinya, ‘makanan sudah diambil sama burung yang lain, besok saya akan bangun jam 5 biar tidak keduluan.’  HHehe......

Kuatir itu bukan dosa. Kita boleh kuatir karena itu adalah hal yang normal. Kita boleh merasa ragu kepada Tuhan karena itu adalah reaksi yang normal. Tetapi setelah kita kuatir dan ragu, solusi apa yang kita lakukan untuk menyelesaikan anxiety itu yang penting. Manusia hanya punya dua solusi untuk menyelesaikan anxiety itu yaitu trust in God or trust himself.

Dari sini kita masuk kepada kitab Kejadian, waktu Adam dan Hawa digoda Iblis untuk makan buah pohon yang dilarang Tuhan, Iblis tahu tension anxiety itu muncul, maka dia mencobai Hawa dengan mengatakan, “Kalau engkau makan buah itu, engkau akan seperti Allah…” Pencobaan itu artinya apa? Pencobaan itu artinya kita sekarang boleh menjadi tuhan atas dirimu sendiri, tidak usah lagi meng-connect diri dengan Tuhan, tidak usah lagi bergantung kepada dia, tidak perlu lagi hidupmu dibatasi dan dilimit sebagai mahluk yang dicipta oleh Tuhan. Maka dosa itu apa? Dosa itu adalah kesombongan manusia yang tidak mau menerima ‘human creatureliness.’ Dosa adalah reaksi disobedience di dalam diri manusia yang menyatakan kesombongan di hadapan Tuhan, ‘aku hanya bersandar kepada diriku sendiri dan tidak mau menerima keterbatasan sebagai ciptaan. Maka dosa lebih dimengerti sebagai kesombongan.

Sorry, diatas saya bukan mau sok "ngotbahi", Wah…hehe itu mah jauh. Ini hanya referensi ekstrim. Tetapi Bukankah semua jawab ada di Alkitab ? Sedang referensi yang lebih sekuler bernama Fir’aun, Hitler, Sistem Aparthide. Mereka ini adalah sekelumit contoh – contoh empiris, bagaimana sifat sombong justru berujung tragis. Tapi toh kita tetap saja sering mengabaikan pelajaran – pelajaran hidup itu. Mungkin kita terlalu dibutakan oleh kekaguman kita melihat bayangan yang ada didepan cermin san menjadi sombong. Sama seperti Narcissius yang gandrung dengan bayangannya sendiri di permukaan telaga.

Mungkin juga kita terlalu dalam menyerap dan menganalisis reaksi lingkungan terhadap diri sendiri. Yang sering mengkritik , kita anggap sebagai musuh, mengada – ada, dengki dll. Sementara yang paling benar adalah mereka yang memuja kita, mengagung – agungkan kita, dan membuat semacam altar pemujaan terhadap kelebihan – kelebihan, yang kita miliki atau kita “rasa” kita miliki. Kalau begini caranya, mungkin kita harus menunggu jidat terbentur dinding dahulu, atau kaki terperosok selokan, untuk membuktikan bahwa ” kita bukan dewa !”   hahaha.....

Perkataan ibu saya yang mungkin tidak akan saya lupa sepanjang hayat:

“Hati – hati berjalan diatas karpet merah. Dalam kondisi ini ,tetaplah perhatikan arah langkahmu, nak. Sadarkan dirimu untuk sering – sering merunduk ketika berjalan. Karena dapat saja ujung karpet itu bukan berakhir di singgasana, tapi di bibir jurang

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons